KONTENJATENG.COM, - Adanya mitos di masyarakat terutama di Jawa bahwa menikah atau menggelar hajatan di bulan Suro atau Muharram akan mendapatkan kesialan. Berikut ini sejumlah alasan dan pandangan Islam mengenai hal tersebut.
Seperti diketahui, terdapat mitos yang melekat di masyarakat mengenai larangan menikah dan menggelar hajatan di bulan Suro atau Muharram. Apakah mitos ini benar? Bagaimana Islam menyikapi mitos yang dipercaya banyak masyarakat hingga saat ini?
Mengutip dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, Sura termasuk dalam hitungan Jawa di posisi timur atau biasa disebut naga tahun ada di timur.
Di mana hal ini memiliki arti pati dina, yakni hari buruk untuk menggelar hajatan dan pernikahan, pindah rumah, khitanan dan sejenisnya.
Selain itu, ada yang menganggap bulan Suro adalah keramat karena dipercaya sebagai tonggak atau bulan awal untuk memulai sesuatu. Sehingga masyarakat percaya bulan Suro tidak diadakan hajatan dan sejenisnya.
Selain itu, masyarakat juga percaya Sura merupakan bulan kedatangan Aji Saka di Jawa yang membebaskan Jawa dari raksasa yang menjajah manusia.
Dalam sebuah penelitan skripsi berjudul Adat Larangan Menikah di Bulan Suro dalam Prespektif URF dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, kepercayaan larangan tersebut juga dipegang teguh oleh masyarakat Desa Wonorejo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Mereka percaya bulan Suro memiliki makna filosofis yang mendalam, di antaranya terjadi peristiwa-peristiwa agung, seperti pembantaian terhadap 72 anak keturunan Nabi dan pengikutnya.
Hal ini menumbuhkan rasa haru dan sungkan untuk menyelenggarakan pernikahan atau hajatan di bulan Muharram.
Pendapat Islam Mengenai Larangan Menikah di Bulan Suro
Dikutip dari situs konsultasi agama, Konsultasisyariah.com, salah satu pengajar di Ponpes Hamalatul Qur’an Yogyakarta, Ustaz Ahmad Anshori menyebut bahwa larangan tersebut tidak benar.
Ia berpendapat bulan Muharram merupakan salah satu dari empat bulan suci dalam agama Islam.