“Dampaknya sangat jelas, di dalam UU secara umum merugikan para buruh. Dan ada hak-hak yang dipangkas oleh pemerintah. Misalnya, buruh yang selama ini sudah nyaman bekerja sebagai karyawan tetap, kemudian ada UU itu menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi yang sebelumnya tetap menjadi karyawan tidak tetap,” ungkapnya.
Lalu kekhawatiran menyangkut pekerja alih daya atau outsourcing. Menurutnya, didalam UU Ketenagakerjaan, pekerjaan outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang.
Sementara didalam UU Cipta Kerja, tak dicantumkan lagi batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dilarang dilakukan oleh pekerja alih daya.
Dengan revisi ini, UU Cipta Kerja membuka kemungkinan bagi perusahaan outsourcing untuk mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu.
“Pengusaha bisa melakukan tindakan sewenang-wenang. Belum lagi ada hak cuti yang dipangkas, seperti cuti hamil dan sebagainya. Itu gambaran secara umum. Bahwa UU itu benar-benar merugikan dan menindas para pekerja,” tandasnya.
Untuk itu, dirinya berharap pemerintah tidak hanya diam saja, melainkan segera melakukan evaluasi terkait dengan UU Cipta Kerja. Salah satunya dengan langkah Presiden untuk segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
“Ini dilakukan untuk meredam aksi unjuk rasa dan penolakan terhadap UU Cipta Kerja itu. Sekaligus untuk melindungi hak-hak para buruh ataupun pekerja,” tambahnya. (nug/kj)