“Wong organisasinya juga ndak legal, ndak ada juga deklair, pas ditahan baru paham. Awalnya tidak paham ada organisasi-organisasi itu,” kata Nur Afifudin.
Ia sendiri sama dengan Harry, mengikuti jaringan itu masih sebatas di Indonesia, berbeda dengan Yusuf. Termasuk aksi terorisme juga tidak pernah diikutinya, melainkan hanya dianggap membantu. Ia sendiri awal bisa masuk jaringan itu, karena berempati dan simpati. Karena pada waktu itu kaum muslimin digambarkan terzolimi, baik di Bosnia merambat ke Ambon, hingga Poso.
“Itu tahun 1990an, bisa dipengaruhi karena ada media yang kita saksikan, ada saksi yang menceritakan, makanya kita jadi percaya, karena ada kesaksian juga, ditambah ada tokoh-tokoh hadir,”kenangnya.
Menurutnya, latar belakang pendidikan agama tidak menjamin seseorang masuk terorisme. Karena ia sendiri dari SMA negeri. Hanya saja, ia merasa memang ada pengaruh juga dari pendidikan. Karena waktu itu marak acara seperti nonton bareng, sehingga akhirnya sama-sama terikat dan terkait, kemudian terjadi aktifitas ngaji bareng, hingga menjadi seperti satu kelompok.
“Saya menyadari, cenderung pada pengalaman yang saya jalani, ternyata dengan melakukan itu manfaat yang diambil minim, justru setelah direnungi lebih banyak mudhorotnya, ditambah ada wawasan yang masuk pikiran,” ungkapnya.
Pelahan saat menjalani pidana penjara mulai sadar ternyata Islam tidak harus diperjuangkan dengan melakukan aksi terorisme, melainkan juga bisa diperjuangkan versi lain, yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Ia mengaku, sebelum ditangkap memang sudah baik dengan masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Semua acara kampung, pengajian, bahkan dipercaya menjadi ketua remaja masjid, ketua takmir, termasuk acara tingkat RT dan Kecamatan ia aktif mengikuti.
“Jadi pas ditangkan, mereka (warga) menganggap seperti itu dianggap urusan saya, toh saya dianggap baik di masyarakat. Jadi warga tidak menyikapi berlebihan, pas saya kembali juga tidak berlebihan, biasa aja,” kenangnya.