Dugderan: Tradisi Penanda Ramadan yang Unik dan Bernilai Sejarah

photo author
- Rabu, 26 Februari 2025 | 18:07 WIB
Dugderan: Tradisi Penanda Ramadan yang Unik dan Bernilai Sejarah
Dugderan: Tradisi Penanda Ramadan yang Unik dan Bernilai Sejarah

KONTENJATENG.COM - Tradisi Dugderan di Kota Semarang bukan sekadar perayaan tahunan menjelang Ramadan, tetapi juga merupakan warisan budaya yang telah berlangsung lebih dari satu abad.

Mukhamad Shokheh, Ph.D., dosen senior Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang (UNNES) menuturkan bahwa Dugderan merupakan tradisi khas Kota Semarang yang mencerminkan perpaduan budaya dan agama dalam masyarakat.

Baca Juga: Wisuda Universitas Semarang ke-71: Cetak 953 Lulusan dari Berbagai Program Studi

Setiap daerah memiliki cara unik dalam menyambut datangnya bulan Ramadan. Di beberapa daerah seperti Magelang dan Temanggung, masyarakat menjalankan tradisi Adusan atau Padusan, yaitu mandi di sumber air atau tempat pemandian sebagai simbol penyucian diri sebelum memasuki bulan suci.

Sementara, di Kota Semarang sendiri, masyarakat memiliki tradisi yang namanya Dugderan, sebuah tradisi yang khas dan tidak ditemukan di daerah lain. “Tradisi ini menjadi bagian dari identitas budaya Semarang dalam menyambut Ramadan,” ungkap Mukhamad Shokheh.

Sejarah Dugderan dapat ditelusuri hingga tahun 1881 pada masa kepemimpinan Bupati Semarang, Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat.

Baca Juga: Pemkot Semarang Kembali Gelar Dugderan 2025, Wali Kota Agustin Serukan Kebersamaan dalam Keberagaman

Saat itu, masyarakat belum memiliki sistem komunikasi yang efektif untuk mengetahui awal Ramadan.

Sebagai solusi, sang Bupati menciptakan inovasi berupa pengumuman resmi yang ditandai dengan bunyi bedug ("Dug") sebanyak 17 kali dan dentuman meriam ("Der") sebanyak 7 kali. Dari sinilah istilah "Dugderan" berasal.

Seiring perkembangan zaman, Dugderan mengalami transformasi. Jika pada masa lalu, meriam digunakan sebagai bagian dari prosesi, kini perayaan berkembang dengan aktivitas yang lebih beragam yang mengandung unsur budaya dan ekonomi.

Masyarakat Semarang tetap melestarikan tradisi ini dengan berbagai kegiatan, termasuk pawai budaya, serta pasar rakyat yang menjajakan berbagai kerajinan, permainan tradisional, dan kebutuhan Ramadan.

Baca Juga: ASICS GT-200: Sepatu Lari Nyaman dengan Stabilitas Maksimal

Salah satu ikon Dugderan yang terkenal adalah Warak Ngendog, simbol akulturasi budaya yang merepresentasikan harmoni masyarakat Semarang.

“Dugderan bukan sekadar penanda datangnya Ramadan, tetapi juga menjadi ajang bagi masyarakat untuk merayakan dan menggerakkan perekonomian,” terang Shokheh.

Lebih dari sekadar perayaan, Dugderan kini menjadi bagian dari identitas Kota Semarang. Selain melestarikan sejarah, tradisi ini juga berdampak pada ekonomi rakyat dengan menghadirkan peluang usaha bagi pedagang kecil.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Arif Nugroho

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X