Tokoh publik harus berhati-hati agar tidak menyinggung publik, karena cancel culture dapat merusak reputasi dan mengasingkan mereka.
Mengapa Ada Budaya Pembatalan?
Budaya pembatalan sering dijadikan dasar sanksi sosial. Fenomena ini memaksa tokoh publik mempertimbangkan dampak pernyataan atau tindakan mereka.
Cancel culture juga digunakan untuk menyoroti tindakan rasisme dan seksisme dalam skandal.
Secara umum, fenomena ini adalah bentuk penghakiman publik untuk meminta pertanggungjawaban seseorang atas perilaku mereka.
Bagaimana Fenomena Ini Berkembang?
Menurut Pew Research Center, 22 persen warga AS menggaungkan cancel culture sebagai budaya pembatalan karier tokoh publik, yang mulai berkembang sejak 2020.
Sebanyak 49 persen warga AS melihat cancel culture sebagai gerakan untuk menghapus status selebriti atau memberi konsekuensi kepada pelaku.
"Area paling umum dari argumen publik untuk menegur tokoh publik di media sosial muncul dari perspektif orang-orang tentang menghakimi atau sebaliknya mencoba membantu korban," tulis Pew Research Center.
Contoh Cancel Culture
Baca Juga: Wapres Gibran Rakabuming Raka Bakal Hadir di Apel Baznas Tanggap Bencana di Semarang
Banyak skandal tokoh publik dan selebriti yang memicu cancel culture. Contohnya, aktor Korea Selatan Kim Seon-ho terjebak skandal aborsi, membuat penggemar berhenti mendukungnya. Ia pun dikeluarkan dari proyek film dan variety show.
Di Indonesia, Saipul Jamil yang terlibat kasus pelecehan seksual diboikot dari acara televisi, menunjukkan cancel culture sebagai alat kontrol sosial ketika hukum dianggap kurang memberi efek jera.