''Oposisi formal yakni mereka yang tidak menjalankan fungsi pemerintahan, namun masih memiliki jabatan yakni di legislatif. Oposisi informal yaitu tokoh-tokoh masyarakat, intelektual, akademisi, dan lain sebagainya yang bertindak mengkritisi pemerintah jika melanggar aturan,'' papar dia.
Hanya saja, kata Ray Rangkuti, kedua aspek oposisi tersebut terlihat melemah atau melandai dalam beberapa waktu terakhir, sehingga memunculkan oposisi jalanan.
Mereka yang disebut oposisi jalanan yaitu aksi protes oleh kelompok yang tidak memiliki saluran formal untuk menyalurkan aspirasi, sehingga menyalurkannya melalui aksi di jalanan. Ini yang kemudian memicu munculnya peristiwa demo pada 25-30 Agustus 2025.
''Untuk itu, saya menyarankan agar jangan pernah berpikir untuk mematikan oposisi formal dan informal karena akan memicu munculnya oposisi jalanan. Demokrasi itu mengajarkan dua sisi, satu orang yang berkuasa, sementara sisi lainnya mengontrol jalannya kekuasaan,'' terang dia.
Sementara itu, Prof Dr Lita Tyesta Addy Listya Wardhani memaparkan mengenai akibat yang dapat timbul jika masyarakat tidak lagi mempercayai keberadaan legislatif akan sangat fatal.
Sanksi sosial yang diberikan dapat berupa keengganan untuk memilih kembali seseorang dari partai tertentu, sehingga akan berpengaruh pada perolehan suara dan kursi di legislatif.
''Ini tentunya menjadi tantangan yang harus dapat diantisipasi ke depannya, karena kalau tidak ini menjadi tanda berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap partai. Ini harus dievaluasi ke depannya,'' terang Prof Dr Lita Tyesta Addy Listya Wardhani.
Kegiatan ini turut dihadiri Ketua DPRD Provinsi Jateng H Sumanto, Ketua Fraksi PDIP DPRD Provinsi Jateng A Baginda Mahfuz H, anggota fraksi PDIP DPRD Kota dan Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Batang.***