KONTENJATENG - Lempongsari merupakan salah satu kawasan di Kota Semarang, memiliki sejarah yang kaya dan menarik. Dahulu kala, wilayah ini merupakan rawa-rawa dan perbukitan.
Kata 'Lempongsari' sendiri diperkirakan berasal dari kata 'lempung' yang berarti tanah liat dan merujuk pada kondisi tanah di wilayah tersebut. Pada masa kolonial Belanda, Lempongsari dikembangkan sebagai kawasan pemukiman yang tampak dari beberapa bangunan peninggalan kolonial masih dapat ditemukan di wilayah ini seperti rumah-rumah dengan arsitektur khas Belanda.
Pada awal abad ke-20, daerah ini hanyalah sebuah desa kecil yang secara bertahap berubah menjadi bagian integral dari Kota Semarang. Perkembangan Lempongsari dari desa pertanian sederhana hingga menjadi kawasan urban modern dapat ditelusuri melalui peta historis, peran penting pembangunan sekolah, dan perubahan visual yang tergambarkan dalam karya seni juga berita lokal.
Pada masa kolonial, pembangunan di Lempongsari relatif lambat dibandingkan kawasan lain yang ada di Kota Semarang atau yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan Belanda. Namun, posisi strategis Lempongsari yang berada di antara jalur transportasi utama, mulai menarik perhatian para pemilik lahan dan pedagang. Karena, dengan adanya jalur rel kereta api dan pembukaan jalan baru, juga mendorong lebih banyak orang untuk bermukim di sekitar Lempongsari.
Melalui peta pada 1920, kondisi itu dapat terlihat bahwa tata ruang desa pada masa tersebut sangat dipengaruhi dengan kebutuhan agraris. Meski belum ada tanda-tanda urbanisasi atau pembangunan modern yang signifikan, namun peta itu menjadi bukti penting bahwa Lempongsari mulai menata dirinya sebagai bagian dari perkembangan kota yang lebih besar, yang meskipun juga dalam skala yang masih terbatas.
Seiring perkembangan zaman di Kota Semarang, gambaran visual dan naratif tentang Lempongsari mulai muncul dalam berbagai media, termasuk lukisan dan artikel berita. Salah satu lukisan terkenal yang menggambarkan Lempongsari pada masa lalu yakni karya seorang pelukis lokal yang memvisualisasikan desa disana sebagai daerah agraris dengan sawah luas, rumah-rumah tradisional, dan suasana pedesaan yang damai. Lukisan itu mencerminkan Lempongsari pada masa kolonial dengan unsur alam dan kehidupan sederhana yang masih mendominasi.
Kemudian, peta Lempongsari yang ditemukan pada 1920 juga menggambarkan kondisi geografis kawasan tersebut yang mencakup fitur topografi seperti jalan perbukitan dan batas wilayah serta infrastruktur yang dibangun pemerintah kolonial Belanda seperti transportasi dan bangunan. Peta tersebut sudah mencakup detil topografi Lempongsari, termasuk jalan, bangunan, batas wilayah dan fitur geografis lainnya pada tahun 1920.
Peta tersebut mungkin menunjukkan pengembangan pemukiman kolonial, infrastruktur yang dibangun dan penggunaan lahan pada masa itu. Selain itu, peta itu dapat memberikan informasi tentang tata letak strategis lumbung sari dalam konteks Kota Semarang pada masa kolonial Belanda.
Tidak hanya itu, pembangunan sekolah-sekolah di Lempongsari pada era kolonial menjadi titik balik penting dalam perkembangan sosial desa. Sekolah pertama yang didirikan di Lempongsari bukan hanya tempat pendidikan tapi juga pusat transformasi sosial.
Pada awalnya, sekolah-sekolah disana hanya ditujukan untuk anak-anak pribumi yang berada dalam kondisi ekonomi terbatas. Pendirian Volkschool atau sekolah rakyat pada 1920-an membuka akses pendidikan dasar bagi anak-anak lokal.
Pembangunan sekolah yang ada di Lempongsari berdampak positif terhadap pendidikan masyarakat lokal. Yakni, mampu meningkatkan akses pendidikan, mengurangi angka buta huruf, dan memberikan keterampilan dasar kepada penduduk, yang pada gilirannya berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup dan kesadaran sosial di kawasan tersebut.
Sekolah-sekolah itu berperan dalam meningkatkan literasi dan keterampilan masyarakat Lempongsari. Pendidikan yang diberikan bukan hanya dalam bentuk akademis tapi juga menekankan pada keterampilan praktis yang dapat langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya pendidikan, masyarakat Lempongsari mulai mengalami perubahan dalam cara berpikir dan berinteraksi dengan dunia luar. Anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah memiliki peluang lebih besar untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi sehingga memperluas pandangan mereka terhadap dunia luar dan membuka peluang ekonomi baru.
Pada tahun-tahun berikutnya, sekolah-sekolah tersebut menjadi tempat berkumpulnya intelektual lokal yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan sosial Lempongsari. Peran sekolah dalam membentuk lapisan masyarakat yang lebih terdidik tidak hanya mengubah pola interaksi sosial di dalam desa tapi juga mempengaruhi hubungan Lempongsari dengan kawasan-kawasan lain di Kota Semarang.