“Dari alumni masing-masing sudah menyebar, kemudian beberapa teman ada mengajak saya ke ustad di Semarang, namanya ustad Subur. Dari situ ikut kajian pak Subur, mulai akidah, jihad, pengetahuan senjata dan sebagainya,”kenang Herry, ketika ditemui di Tlogosari.
Ia sendiri mengaku waktu itu, memang sudah tertarik kata jihat. Ia merasa kata itu tidak diajari di sekolah, kemudian beberapa ustad-ustad mulai di ikuti mengupas kajian jihat.
Perlahan-lahan ia mulai menyadari kajian jihat yang dibaca dari buku, tidak sesuai dengan orang umum memahami, otomatis disitulah mulai semakin tertarik ke jihat, sampai detail mempelajari dari jaman rasul dan kondisi di Indonesia saat itu sedang ramainya masalah Palestina.
“Saya bacroundnya itu PMR di SMA 1, suma waktu itu karena ada teman ikut Rohis, mulai nimbrung, jadi dapat pengalaman baru dan teman baru. Ditulah awal kenal jaringan-jaringannya, jadi ya di Semarang,”kenangnya.
Tak dipungkirinya, ia memang sejak dulu suka membaca, sehingga awalnya memang tidak serta merta langsung ikut. Namun setelah melihat kondisi, teman-teman yang di kenal di sekolah, baik PMR maupun PMI dan pergaulan umu, berbeda dengan teman sekolah yang gabung di Rohis.
Ia mulai merasakan perlakuannya berbeda, di Rohis lebih santun, solat juga mau membimbing. Mengajari cara solat bagaimana dan Islam harus berlaku seperti apa.
“Apalagi ibu dan bapak tak mengajarkan solat ke saya, makanya saya paham solat setelah belajar dari teman-teman Rohis, SMP saya biasa, jadi mulai SMA kelas 2 pertama kenal pengetahuan jihat itu,”kenangnya.