“Kebetulan waktu itu, rumah saya kosong di Ngaliyan, beliau menginap disana 5 hari. Kita selama 5 hari ngobrol hingga beliau pulang,”sebutnya.
Namun beberapa bulan kemudian kedatangan anggota polisi jam 12 malam, bersama RT, disitulah ia dinyatakan ikut kelompok teroris, akibat menerima tamu, yang diketahui belakangan adalah Nurdin M. Top. Akhirnya ia ditangkap ketika itu juga.
Namun demikian, ia mengaku sejak sebelum ditangkap atau sesudah jalani pidana memang tidak sepakat dengan aksi terorisme di Indonesia. Hal itu ia landasi karena materi yang di terima dan pelajari dari berbagai literatur, jihat atau perang harus tatap muka langsung. Sehingga kelihatan lawan dan sama-sama memiliki senjata dengan lama. Dengan begitu maksudnya jelas, musuhnya siapa, medan perang seperti apa.
“Kalau kasus di Indonesia seperti Bom Bali, JW Mariot dan bom kantor dubes, kantor pos, itu harus dipahami apakah itu sebagai medan perang atau tidak. Itu yang perlu dikaji lebih lanjut lagi, dan saya ndak sepakat kalau di Indonesia itu di bom,”sebutnya.
Bahkan saat sebelum ditangkap, ia juga sudah pernah menyampaikan ke Nurdin, saat itu ia hanya tahu kalau itu tamunya ustad Subur. Untuk itulah, ia kekeh, sampai sekarang dianggap sadar atau tidak sadar, kenyataanya dari awal ia memang tidak sepakat dengan aksi teror seperti di Indonesia.
“Kalau mereka niat berjihad saya sepakat, cuma aplikasi penerapan ilmu jihatnya dalam kenyataan seperti itu saya kurang sepakat,”tandasnya.
Menurutnya, hal itu tidak memenuhi kriteria perang, sebagaimana ilmu yang di terimanya. Ia beranggapan, kalau mau jihad benar-benar larinya langsung ke area perang seperti di Palestina.