Cerita Harry Setya Rahmadi Dalami Jihad, Hingga Masuk Kelompok Terorisme dan Berlabuh NKRI

photo author
- Rabu, 11 November 2020 | 18:53 WIB
0d1fd641-edf3-4ff7-ba79-1c90f8fd9a65
0d1fd641-edf3-4ff7-ba79-1c90f8fd9a65

Untuk pendidikan, diakuinya, tak menjamin seseorang dianggap kelompok teroris. Ia sendiri dari SD, SMP, dan SMA hingga kuliah, semua di sekolah negeri dan termasuk sekolah ternama di Kota Semarang. Ia mulai mengenal agama Islam perlahan-lahan, karena ia merasa ketika itu, di rumah tahunya hanya belajar dan pulang ke rumah. Dengan begitu seakan-akan ilmunya hanya sebatas itu.

“Padahal saya butuh pengethuan lebih dari itu. Karena saya juga kebetulan anak pertama, jadi pengen fokus pengembangan diri, disitulah kebetulan ketemu teman-teman, baik dari Rohis, naik gunung, PMR-PMI, jadi saya bisa membedakan cara bergaul dengan mereka-mereka,”kenangnya.

Ia masih ingat betul, bergabung Rohis sekitar 1994-1995, hingga akhirnya dipegaruhi dengan ikut kajian-kajian. Ia menyadari, kajian memang kebanyakan tidak berbentuk teori, tidak tatap muka, kadang dilihatkan video tentang kekerasan di Palestina dan Filipina, jadi semakin termotivasi betapa umat Islam di sana tertindas.

“Disitulah mulai menyambungkan keadaan di Indonesia, dengan keadaan di sana. Jadi bagaimana sikap kita sebagai umat Islam di Indonesia melihat kondisi disana, apakah cuek, atau harus bagaimana. Jadi disitu awalnya, diberi pemahaman, saya ditatar oleh ustad-ustad, antara satu dengan lainnya,”sebutnya.

Bahkan usai mengikuti kajian itu, ia mengaku langsung berpandangan ekstrim, sehingga sempat berpandangan yang non muslim di anggap musuh, termasuk pamannya sendiri saat itu, namun itu hanya awal-awal. Kemudian setelah ia membaca literatur lagi.

Ternyata tidak boleh seperti itu, akhirnya berubah lagi prinsipnya, perlahan mulai memahami harus berbuat baik kepada orang tua, dan lainnya. Setelah mulai bisa berpikir rasional, justru cobaan datang ia dan adik-adik dan ibunya ditinggal ayahnya tepat di kelas 3 SMA.

“Awal-awal kenal Islam, saya ditinggal bapak. Jadi keluarga semakin goncang, terus saya harus stay disana, makanya kuliah sambil kerja, hingga lulus,”kenangnya.

Berjalannya waktu awal 2005, kajiannya mulai fokus ke beberapa orang. Misal awal 10 orang menjadi 6 orang. Dengan tujuannya, agar pengetahuannya lebih khusus, kemudian tepat kejadian Bom Bali 2, pada Oktober 2005. Ia kedatangan tamu yang katanya teman dari ustad Subur. Karena tamu dari ustad, maka ia berpikir singkat, kalau orang itu juga adalah ustad, akhirnya ketemulah dengan tamu itu di Semarang.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Konten Jateng

Tags

Rekomendasi

Terkini

X