Selain itu, juga tak mempertimbangkan keberadaan ruko yang menjadi agunan atas pencairan KPR dan saat ini sudah dikuasai oleh Bank Mandiri dan belum terjual sampai sekarang.
"Kami tak menghitung jika agunan sudah dikuasai Bank Mandiri. Kalau nanti sudah terjual, hasil penjualan masuk dalam tindak lanjut dari pengembalian kerugian negara," paparnya.
Ia juga menyampaikan jika menemukan beberapa penyimpangan dalam pencairan KPR Bank Mandiri Semarang itu. Penyimpangan yang dimaksud mulai dari pengajuan hingga persetujuan KPR.
"Kreditur memakai identitas palsu, kreditur melakukan mark up dari transaksi ruko, memberikan info uang muka yang tak sesuai, rekomendasi yang rak sesuai kondisi riil, kreditur juga melakukan perubahan bentuk agunan," tambahnya.
Perlu diketahui, dari dakwaan jaksa disebutkan kasus KPR fiktif Bank Mandiri Semarang tersebut, terjadi pada 2016. Terdakwa Edward Setiadi mendapat fasilitas kredit sebesar Rp 4,5 miliar dan Rp 1,898 miliar.
Namun kredit tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada di Manual Product Credit Segmen Consumer. Ada ketidaksesuaian prosedur dalam pelaksanaannya yaitu terkait verifikasi penghasilan dan investasi.
Petugas Bank Mandiri tidak melakukan OTS ke rumah calon kreditur yaitu Edward Setiadi. Oleh karena itu, KTP dan NPWP pribadi terdakwa Edward Setiadi dipalsukan dan tidak diketahui petugas.
Tak hanya itu, kredit yang dilakukan tidak ada uang muka atau berkas uang muka dipalsukan oleh terdakwa. Bahkan, penilaian jaminan kredit juga lebih besar dari nilai aslinya.