Priyanto memaparkan, dari hasil pengawasan dan pengecekan di lapangan oleh jajaran Kejati Jateng dapat disimpulkan bahwa HET obat yang dikeluarkan berdasarkan Kep.Menteri Kesehatan No. HK.01.07/Menkes/4826/2021 tertanggal 2 Juli 2021 dengan HET yang dikeluarkan pabrikan seperti Kimia Farma jauh lebih tinggi.
Dicontohkan, untuk HET obat Azithromycin 500 mg tablet sesuai Menkes Rp 1.700/tablet, tapi HET pabrikan Kimia Farma sebesar Rp 15.400/ tablet, sehingga terjadi kelangkaan dan Apotek tidak berani menjual ke masyarakat karena dianggap menggelembungkan/mark up harga obat.
"Saya harapkan untuk HET obat agar dapat disesuaikan dengan harga pasar, sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat," pintanya.
Kemudian, sambung dia, kekosongan obat yang terjadi akhir-akhir ini lantaran adanya aksi borong oleh oknum untuk dijual secara on line. Dengan adanya aksi ini, otomatis obat Covid menjadi langkah di pasaran, sehingga oknum tersebut bisa menjual dengan harga tinggi demi meraup keuntungan pribadi.
"Ketiga, adanya indikasi obat-obat Covid dimonopoli oleh pabrikan/apotek besar, sehingga apotek lain yang ada di kabupaten tidak dapat pasokan," jelasnya.
Selain mendukung penuh operasi yustisi yang dilakukan tim gabungan, Priyanto meminta tim yustisi agar tidak cuma menyasar apotek saja, tapi mengawasi dan menelusuri alur distribusi penjualan obat secara ketat, mulai dari pabrikan atau perusahaan besar farmasi hingga ke apotek.
“Penjualan obat Covid oleh perusahaan besar Farmasi perlu diawasi ketat. Jangan sampai ada oknum tidak bertanggung jawab bisa membeli obat dalam partai besar tanpa keterangan yang jelas, sekadar dijual secara online, " pungkasnya. (Auf/Kj)